Sejarah Trinitas
Pengalaman batin orang Kristen di zaman awal
Paham Trinitas berasal dari pengalaman batin orang Kristen pengikut Yesus di zaman awal akan perjumpaan dengan yang ilahi. Pada saat itu belum ada paham Trinitas sebagaimana dirumuskan belakangan. Pengalaman batin itu mendahului paham teologisnya. Para pengikut Yesus itu mengalami Keilahian dalam tiga bentuk atau modalitas:
- mengalami Keilahian sebagaimana mereka pahami dari kitab-kitab Yahudi (Perjanjian Lama): sebagai Pencipta, Tuhan dari sejarah penyelamatan, Bapa, dan Hakim;
- mengalami Keilahian di dalam diri Yesus, yang hidup di tengah manusia, sebagai “Yang Telah Bangkit Kembali”;
- mengalami Keilahian sebagai Roh Kudus yang memberi kekuatan bagi hidup baru, kuasa bagi Kerajaan Allah, sebagaimana misalnya dialami oleh para murid pada peristiwa Pentakosta.
Sepanjang sejarah Kristen, masalah bagaimana mempertemukan pengalaman akan Keilahian dalam tiga bentuk/modalitas ini dengan prinsip keesaan Tuhan (monoteisme) telah menjadi bahan kajian dan perenungan yang sangat mendalam bagi orang Kristen yang saleh. Ini menjadi pendorong pula bagi berkembangnya suatu teologi spekulatif yang mengilhami metafisika Barat selama berabad-abad.
Namun, selama dua abad pertama Masehi, terdapat berbagai jawaban terhadap masalah ini yang berdiri berdampingan dan berhadap-hadapan. Pada mulanya para ahli teologi Kristen itu belum mengkajinya secara spekulatif.
Perbedaan paham seputar tokoh Yesus
Berbagai paham tentang Trinitas itu berpusat pada perbedaan paham tentang tokoh Yesus. Menurut Injil Yohanes, keilahian Yesus adalah titik awal untuk memahami pribadi dan karyanya. Yesus adalah keilahian yang telah ada sebelum ruang dan waktu ini tercipta, dan yang turun ke dunia (berinkarnasi) untuk menebus manusia yang berdosa.
Di lain pihak, Injil Markus tidak berangkat dari teologi inkarnasi, melainkan memahami baptisan Yesus di sungai Yordan sebagai pengangkatan manusia Yesus ke dalam kedudukan Putra Allah [Sonship of God], yang terjadi dengan turunnya Roh Kudus dalam wujud burung merpati. Jadi sampai di sini sudah ada dua pendekatan yang berbeda.
Situasinya menjadi makin rumit ketika muncul konsep tentang pribadi ilahi kedua yang khas sebagaimana terlihat dalam diri Yesus; sedangkan Roh Kudus tidak dilihat sebagai tokoh berpribadi, melainkan sebagai kuasa/kekuatan, dan digambarkan hanya dalam wujud burung merpati atau lidah api. Dengan demikian, Roh Kudus untuk sebagian besar terdorong ke belakang di dalam kesadaran dan liturgi Kristen sehari-hari.
Masuknya tema-tema Neoplatonik
Di dalam Injil Yohanes terdapat petunjuk-petunjuk awal dari konsep Kristus sebagai Logos, “Sabda”, yang sudah ada pada awal segala zaman. Di bawah pengaruh filsafat Neoplatonisme yang datang belakangan, tradisi ini menjadi sentral di dalam teologi spekulatif. Orang memikirkan bagaimana mempertemukan prinsip “keesaan Allah” dengan “triplisitas” (rangkap tiga) manifestasi keilahian. Masalah ini dijawab dengan menggunakan metafisika keberadaan [being] dari filsafat Neoplatonisme.
Menurut filsafat Neoplatonisme, Allah yang transenden, yang berada di atas segala keberadaan, di atas segala rasionalitas, dan di atas segala konseptualitas, berangsur-angsur melepaskan transendensi keilahiannya. Pada tindakan awal dari proses sadar-diri, Logos menyadari dirinya sebagai batin ilahi (Yunani: nous). (Bandingkan ini dengan ta-ayyun awwal dari Ibn Arabi, dan alam wahdatiyah [#2] dari Mas Winarno.) Batin ilahi, yang juga disebut akal budi semesta yang bersifat ilahi, ini oleh filsuf Neoplatonik, Plotinus, dinamakan “Putra” yang muncul (datang) dari Bapa.
Langkah berikut dari proses Allah-transenden menjadi sadar-diri adalah munculnya alam ilahi [divine world] di dalam batin ilahi [nous], yakni ide tentang alam semesta dengan wujud-wujud individualnya sebagai isi kesadaran ilahi. (Bandingkan ini dengan ta-ayyun tsani dari Ibn Arabi, dan alam wahidiyah [#3] dari Mas Winarno.)
Di dalam filsafat Neoplatonisme, baik nous maupun ide alam semesta disebut hipostasis (emanasi, pembabaran, pengejawantahan ke “bawah”) dari Allah yang transenden. Teologi Kristen belakangan meminjam dari filsafat Neoplatonik ini-metafisika substansi serta doktrin hipostasis-sebagai titik tolak untuk memahami hubungan antara “Allah Bapa” dan “Allah Putra”. Hubungan itu ditafsirkan menurut doktrin hipostasis Neoplatonik. Di sini juga terkandung tafsiran Kristologi spekulatif yang paralel dengan spekulasi Neoplatonik tentang Logos.
Kesulitan dengan Neoplatonisme
Kesulitan bagi orang Kristen dalam meminjam dari Neoplatonisme ialah karena dalam doktrin hipostatisasi tersirat adanya sesuatu yang “berkurang” dari Allah yang transenden ketika beremanasi menjadi Logos dan seterusnya ke bawah; ada sesuatu yang “melemah”, yang inheren di dalam proses yang berlangsung secara hirarkis itu. Derajat keilahian itu makin lama makin berkurang dengan makin mendekatnya keberadaan ilahi itu kepada materi. (Di dalam filsafat Neoplatonisme, materi di anggap sebagai bukan-keberadaan [nonbeing].)
Jadi, dengan mencangkokkan doktrin hipostasis Neoplatonik kepada tafsiran Kristiani tentang Trinitas, terdapat bahaya bahwa berbagai manifestasi Allah itu-sebagaimana dirasakan dalam pengalaman batin Kristen sebagai:
Bapa, Putra dan Roh Kudus-berubah menjadi hirarki tuhan-tuhan yang bertingkat-tingkat, menjadi politeisme.
Sekalipun bahaya ini dengan sadar dihindari, dan-berangkat dari Kristologi Logos-kesamaan esensi sepenuhnya dari ketiga manifestasi Allah itu ditekankan, ada bahaya lain yakni munculnya kembali triplisitas, yakni tuhan-tuhan yang setara, yang bertentangan dengan prinsip monoteisme murni.
Upaya merumuskan Trinitas: “kontroversi Arius”
Pada abad ke-3 M orang mulai sadar bahwa upaya memahami misteri Trinitas menurut teori hipostasis Neoplatonik tidak memuaskan dan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Puncak di mana kesulitan dasar itu mencuat secara teologis dan eklesiastik (kelembagaan gereja) ke permukaan secara mencolok adalah apa yang disebut “kontroversi Arius”.
Arius termasuk aliran teologi Antiokhia, yang menekankan historisitas dari manusia Yesus. Dalam teologinya, Arius mempertahankan pemahaman formal tentang keesaan Allah, persis seperti ditekankan oleh doktrin Tauhid dalam Islam, dan deklarasi “Shema” dalam agama Yahudi.
Di dalam mempertahankan keesaan Allah itu, Arius terpaksa menyanggah kesamaan antara hakikat Putra dan Roh Kudus di satu pihak dengan hakikat Allah Bapa di lain pihak. Paham ini ditekankan oleh para pemikir dari aliran teologi Aleksandria yang dipengaruhi filsafat Neoplatonisme.
Dari sejak awal, kontroversi antara kedua kelompok ini bertumpu pada konsep metafisikal mengenai substansi dari Neoplatonisme-konsep itu sendiri asing bagi Perjanjian Baru-yakni pertanyaan: apakah esensi itu? Tidak heran bahwa kemudian kontroversi ini dirumuskan dalam slogan: “kesamaan esensi [dan oleh karena itu setara]” [homoousion] vs. “kemiripan esensi [dan oleh karena itu, tak sama dan tak setara]” [homoiousion] di antara berbagai pribadi ilahi itu. (Orang-orang yang sinis-macam Gibbon- berkata bahwa orang Kristen menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat tentang sebuah huruf hidup: “i” [iota] dalam “ou” vs. “iou”. Dari sinilah asal ungkapan populer dalam bahasa Inggris: “It makes not one iota of difference.” Tapi bagi penganut kental Kristen perbedaan satu huruf itu berarti sangat penting.)
Posisi dasar dari Arius adalah menyanggah kesamaan esensi dari Putra (dan Roh Kudus) dengan esensi Allah Bapa, untuk mempertahankan keesaan Allah. Dengan demikian menurut Arius, Putra menjadi “Allah kedua, di bawah Allah Bapa [subordinated]”- artinya, ia adalah Allah dalam arti kiasan belaka, oleh karena dalam dikotomi Pencipta-Ciptaan, posisi Putra berada di pihak Ciptaan, sekalipun berada pada puncak Ciptaan (merupakan ciptaan tertinggi).
Di sini Arius bergabung dengan suatu tradisi Kristologi yang lebih tua, yang telah menyebar di Roma pada awal abad ke-2 M. Menurut tradisi yang disebut “Kristologi-malaikat” ini, turunnya Putra ke bumi dipahami sebagai turunnya pemimpin malaikat ke bumi, yang menjelma menjadi manusia Yesus; dia pernah pula diidentifikasikan dengan malaikat Mikail.
Dalam Kristologi-malaikat kuno ini telah ditampilkan tekad untuk mempertahankan keesaan Allah, yang membedakan iman Yahudi dan Kristiani dari iman-iman pagan di sekitarnya. Putra bukanlah Allah itu sendiri, melainkan sebagai yang tertinggi di antara makhluk-makhluk spiritual yang tercipta; dengan demikian dia ditempatkan sedekat mungkin dengan Allah.
Arius bergabung dengan tradisi kuno ini dengan tujuan yang sama: yakni mempertahankan prinsip monoteisme Kristiani terhadap segala tuduhan bahwa agama Kristen menampilkan suatu bentuk politeisme baru yang lebih halus.
Jika Yesus ciptaan juga, bagaimana dia bisa menebus ciptaan? -- Athanasius
Tidak ayal lagi, upaya yang dipelopori Arius untuk mempertahankan keesaan Allah membawa orang Kristen kepada suatu dilema: kalau di dalam dikotomi Pencipta-Ciptaan, Yesus berada di pihak Ciptaan, padahal Ciptaan itu memerlukan penebusan, bagaimana Yesus bisa menebus dunia? Jadi, secara keseluruhan Gereja Kristen menolak upaya formal untuk mempertahankan keesaan Allah yang dipelopori Arius itu sebagai serangan terhadap realitas penebusan.
Juru bicara utama dari pihak ortodoksi gereja adalah Athanasius dari Aleksandria. Bagi dia, titik tolaknya bukanlah suatu prinsip filosofis-spekulatif, melainkan realitas penebusan, kepastian keselamatan. Menurut dia, penebusan umat manusia dari dosa dan maut hanya bisa dijamin jika Yesus adalah Allah sepenuhnya dan sekaligus manusia sepenuhnya, jika esensi Allah meresapi manusia sampai lapisan terdalam dari sumsum tulangnya.
Hanya apabila Allah dalam makna esensi ilahi sepenuhnya menjadi manusia di dalam Yesus maka dapat dijamin pengilahian [deification] manusia dalam makna penaklukan dosa dan maut sebagai kebangkitan daging kembali.
Konsili Nicea (325 M)
Pada konsili Nicea, 20 Mei 35 M, tidak banyak uskup menganut pandangan Athanasius ini. Kebanyakan mengambil sikap di tengah-tengah antara Athanasius dan Arius. Namun dengan dukungan Kaisar Konstantin dan rekayasa Athanasius-mungkin persis sama seperti sidang-sidang umum MPR di zaman Orba-akhirnya Athanasius menang. Hanya Arius bersama dua uskup temannya menolak menandatangani Kredo Nicea.
Kredo Nicea ini berbunyi:
“Kami percaya akan satu Allah,
Bapa yang Mahakuasa,
pencipta segala sesuatu, yang tampak dan tak tampak,
dan pada satu Tuhan, Yesus Kristus,
Putra Allah,
tunggal dilahirkan dari Bapa,
yakni, dari zat [ousia] Bapa,
Allah dari Allah,
cahaya dari cahaya,
Allah sejati dari Allah sejati,
dilahirkan bukan diciptakan,
mempunyai zat sama [homoousion] dengan Bapa,
melalui dia segala sesuatu diciptakan,
segala sesuatu yang ada di surga dan
segala sesuatu yang ada di bumi,
yang demi kita manusia dan demi penyelamatan kita,
turun [ke dunia] dan menjadi manusia,
menderita,
bangkit kembali pada hari ketiga,
naik ke surga,
dan akan datang
mengadili orang yang hidup dan yang mati.
Dan kami percaya akan Roh Kudus.”
Sehabis konsili Nicea, bukan berarti kontroversi itu pun berakhir. Kontroversi Arius ini berlangsung selama 60 tahun lagi. Arius dkk berjuang terus dan berhasil mempengaruhi Kaisar yang memerintah. Akibatnya, Athanasius sempat diasingkan sampai lima kali. Demikianlah, kaisar demi kaisar silih berganti, yang satu mendukung Arianisme, dan yang lain mendukung Kredo Nicea. Persis seperti persaingan antara Buddhisme yang “asing” vs. Konfusianisme yang “asli” di Tiongkok di zaman kuno.
Paham Athanasius pada waktu itu sukar diterima. Terutama konsep “homoousion” [”berzat sama”] yang dikenakan terhadap Bapa dan Putra mengandung nuansa materialistik; seperti orang mengatakan bahwa dua mata uang “berzat sama”. (Apakah Allah mempunyai zat seperti mata uang mempunyai zat?) Selain itu istilah itu tidak terdapat dalam Alkitab. Juga tidak dijelaskan bagaimana bisa Allah Putra “berzat sama” dengan Allah Bapa tanpa menjadi “Tuhan kedua”. Kredo Nicea seperti apa adanya dapat dituduh sebagai triteisme (tiga Tuhan).
Namun baik kubu Athanasius maupun kubu Arius sependapat akan datangnya sesuatu yang baru yang dibawa oleh Yesus ke dunia. Mereka mencoba menjelaskan pengalaman ini di dalam kerangka simbol-simbol yang mereka pahami. Dan penjelasan itu menjadi kredo (rumusan iman). Pengalamannya sama, tapi kredonya bertentangan, di antara Arius dan Athanasius. Tetapi pengalaman keilahian itu sendiri sebenarnya tak dapat diutarakan dengan kata-kata [ineffable]. Sifat pengalaman transendental itulah yang menyebabkan timbulnya penjelasan iman dari berbagai sudut pandang, yang bisa bertentangan satu sama lain.
Sayangnya, di dunia Kristen perlahan-lahan berkembang ketidaktoleranan di bidang dogmatik. Orang harus mengikuti rumusan-rumusan (simbol-simbol) yang dianggap “benar” dan mengikat. Obsesi doktrinal, yang khas dalam agama Kristen ini, dapat dengan mudah mengacaukan simbol-simbol manusiawi dengan realitas ilahi. Inilah yang menyebabkan mudah pecahnya agama Kristen menjadi begitu banyak gereja, yang bersifat eksklusif satu terhadap yang lain.
Rumusan Trinitas yang final adalah apa yang dikenal sebagai Kredo Athanasius (sekitar th 500 M) --yang sebetulnya bukan ditulis oleh Athanasius, karena dia wafat th. 373 M. Kredo itu pada dasarnya menekankan pada: “una substantia-tres personae” (“satu zat, tiga pribadi”). Rumusan ini diterima sebagai akidah resmi Gereja Katolik dan beberapa Gereja Protestan.
Secara praktis rumusan ini merupakan suatu kompromi, yang di satu pihak berpegang teguh pada kedua landasan iman Kristen (keesaan Allah dan pengungkapan-diri Ilahi di dalam Bapa, Putra dan Roh Kudus), dan di lain pihak tidak merasionalisasikan misteri itu sendiri. Pada akhirnya, sudut pandang yang dianut tetap definitif, dalam arti bahwa realitas penyelamatan dan penebusan tetap dipertahankan dan tidak dikorbankan demi kepentingan monoteisme rasional.
Pada awal dan akhir naskah Kredo Athanasius ini terdapat peringatan keras: bahwa barangsiapa menyeleweng dari akidah ini tidak akan terselamatkan. Kerasnya peringatan ini menyebabkan beberapa ahli teologi, terutama dari Gereja Anglikan, menuntut akidah ini dibatasi atau ditinggalkan.
Ini adalah contoh ketidaktoleranan Gereja Kristen Barat terhadap sesama Kristen yang menganut rumusan akidah berbeda. Ini disebabkan Gereja Kristen Barat lebih menekankan kerigma (yang filosofis) daripada dogma (yang kontemplatif). (Lihat bawah) Itulah pula sebabnya kelak Inkuisisi serta pengejaran dan penindasan kelompok-kelompok yang berbeda akidah merupakan ciri khas Gereja Barat dan tidak terjadi di Gereja Timur.
Para Bapa Kapadosia
Secara rasional, orang Kristen dihadapkan kepada pertanyaan abadi: Kalau hanya ada satu Allah, bagaimana Logos bisa ilahi? Terhadap pertanyaan ini, para Bapa Kapadosia (abad ke-4 M) memberikan jawaban, yang akhirnya bisa memuaskan Gereja Ortodoks Timur. Tetapi jawaban itu berasal bukan dari pendekatan filosofis, melainkan dari pendekatan kontemplatif.
Yang disebut para Bapa Kapadosia terdiri dari tiga tokoh: (1) Basilius, Uskup Kaesarea; (2) adiknya Gregorius, Uskup Nyssa; (3) sahabatnya, Gregorius dari Nazianzus. Mereka menyenangi filsafat dan spekulasi di satu pihak, namun di lain pihak mereka juga orang-orang yang saleh. Mereka yakin bahwa hanya pengalaman batiniah sajalah yang dapat memberikan kunci untuk memahami Allah.
Mereka mengenal Plato, yang membedakan antara filsafat (yang rasional) dan mitologi (yang nonrasional) -- kedua-duanya dapat memberikan pengetahuan yang sama pentingnya. Mereka juga mengenal Aristoteles, yang menyatakan bahwa orang memeluk agama-agama misteri bukan untuk belajar [mathein], melainkan untuk mengalami [pathein].
Basilius mengungkapkan sudut pandang yang sama dalam kerangka Kristiani, yakni dengan membedakan antara kerygma dan dogma. Kedua ajaran Kristen itu sama pentingnya. Mnurut Basilius, kerygma adalah ajaran gereja yang terbuka untuk umum, berdasarkan Alkitab. Sedangkan dogma mengandung kebenaran Alkitabiah yang lebih dalam, yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman batiniah dan diungkapkan dalam wujud-wujud simbolik.
Di samping pesan yang gamblang dari Injil, terdapat suatu tradisi esoterik yang rahasia, yang diwariskan “sebagai misteri” dari para rasul; ini adalah “ajaran privat dan rahasia”
“... yang dipelihara oleh para bapa suci di dalam keheningan yang mencegah kecemasan dan keingintahuan untuk dengan keheningan itu menjaga kesucian dari misteri ini. Mereka yang belum diinisiasi tidak diperbolehkan melihat hal-hal ini: maknanya tidak boleh diungkapkan dalam tulisan.” [Basilius, On the Holy Spirit]
Perbedaan Kristen Barat dan Kristen TImur dalam melihat Trinitas
Gereja Kristen Barat (Latin) kelak akan menjadi agama yang banyak berfilsafat dan berargumentasi; akibatnya, perdebatan mengenai hakikat keilahian akan sering mencuat di Barat. Sebaliknya, di dalam Gereja Kristen Timur (Ortodoks Yunani), teologi yang baik adalah teologi yang bersikap apofatik (berdiam diri dalam kontemplasi).
Seperti dikatakan oleh Gregorius dari Nyssa, “setiap konsep tentang Allah hanyalah sekadar gambaran, kemiripan yang tidak tepat, suatu berhala: ia tidak dapat mengungkapkan Allah itu sendiri.” Gregorius menekankan bahwa “... penglihatan dan pengetahuan yang sejati akan apa yang kita cari justru terletak di dalam tidak melihat, di dalam kesadaran bahwa tujuan kita mengatasi segala pengetahuan, yang di semua sisi dibatasi oleh dinding kegelapan dari kemustahilan-pemahaman [incomprehensibility].”
Kita tidak dapat “melihat” Allah secara intelektual, tetapi apabila kita membiarkan diri kita diliputi “awan yang turun di gunung Sinai”, kita akan merasakan kehadirannya. Basilius kembali kepada pembedaan yang dibuat oleh Philo antara esensi Allah (ousia) dan kegiatan-Nya (energeiai) di alam semesta: “Kami mengenal Allah kami hanya dari kegiatan-Nya, tetapi kami tidak berupaya mendekati esensinya.” Inilah yang akan menjadi pendekatan kunci di dalam seluruh teologi Gereja Timur di kemudian hari.
Para Bapa Kapadosia juga menaruh perhatian terhadap konsep Roh Kudus. Mereka merasa konsep ini hanya disinggung sepintas lalu saja dalam Konsili Nicea: rumusan “Dan kami percaya akan Roh Kudus” dalam Kredo Nicea terasa hanya sebagai embel-embel yang ditambahkan belakangan. Siapakah Roh Kudus itu? Sekadar nama lain dari Allah, atau ada sesuatu yang lain?
Gregorius dari Nazianzus mencatat bahwa “Ada orang melihat Roh Kudus sebagai kuasa [kegiatan], ada yang melihatnya sebagai makhluk, ada yang melihatnya sebagai Allah, sedangkan yang lain tidak bisa mengambil keputusan.” Santo Paulus berbicara tentang Roh Kudus yang membaharui, menciptakan dan dan memuaskan; padahal kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh Allah. Oleh karena itu, Roh Kudus yang di dalam diri kita disebut sebagai penyelamat kita, haruslah bersifat ilahi, bukan sekadar makhluk. Para Bapa Kapadosia meminjam ungkapan yang digunakan Athanasius dalam menghadapi Arius: “Allah memiliki satu esensi (ousia) --yang tidak dapat kita kenali-dan tiga pengejawantahan (hypostases) --yang membuatnya dikenal.”
Alih-alih berdebat tentang esensi (ousia) Allah (yang tidak mungkin diketahui), para Bapa Kapadosia berangkat dari pengalaman manusia tentang pengejawantahan (hypostases) Allah. Ousia (esensi) adalah hakikat sesuatu di dalam dirinya (bagi Allah, ini tidak mungkin diketahui manusia); sedangkan hypostases (pengejawantahan) adalah gambaran tentang sesuatu dilihat dari luar dirinya (bagi Allah, inilah yang dialami manusia).
Gereja Ortodoks Timur: Trinitas bukanlah Allah itu sendiri, melainkan hypostases Allah
Yang penting adalah, menurut Gregorius dari Nyssa, bahwa hypostases (pengejawantahan) Bapa, Putra dan Roh Kudus itu tidak boleh dipandang atau diidentifikasikan sebagai Allah itu sendiri, oleh karena “... esensi (ousia) Keilahian tidak terkatakan dan tidak dapat diberi nama.” Maka “Bapa”, “Putra”, dan “Roh Kudus” hanyalah sekadar “istilah-istilah yang kita gunakan” untuk menyebut energeiai (aktivitas) yang dengan itu Allah (yang tersembunyi) memperlihatkan Diri-Nya.
Namun, istilah-istilah ini juga mempunyai makna simbolik, karena menerjemahkan realitas yang tidak terbayangkan menjadi gambar-gambar yang dapat kita tangkap. Manusia mengalami Allah sebagai transenden (Bapa, yang tersembunyi di dalam awan yang tak terjangkau), sebagai kreatif (Logos), dan sebagai imanen (Roh Kudus).
Bagi Gereja Ortodoks Timur, Trinitas hanya dapat dipahami sebagai pengalaman spiritual atau mistikal; Trinitas harus dialami, bukan dipikirkan, karena Allah melampaui segala konsep manusiawi. Trinitas bukanlah rumusan logis atau intelektual, melainkan paradigma imajinatif yang membingungkan akal budi.
Bagi orang Kristen di Timur, kontemplasi terhadap Trinitas tetap memberikan pengalaman spiritual yang mengangkat; sedangkan bagi orang Kristen di Barat, Trinitas menimbulkan perdebatan. Perbedaan sikap antara Barat dan Timur ini tampak pula dalam memahami istilah theoria. Bagi orang Kristen Timur, theoria berarti kontemplasi (penghayatan); sedangkan bagi orang Kristen Barat, theoria (teori) berarti hipotesis rasional yang harus dibuktikan secara logikal. Mengembangkan “teori” tentang Allah menyiratkan bahwa Dia dapat ditangkap oleh pemikiran manusia.
Orang Kristen Timur menekankan aspek dogmatik dari Trinitas (yang hanya dapat dipahami secara intuitif); sedangkan orang Kristen Barat menekankan aspek kerigmatik dari Trinitas, yang menimbulkan argumentasi, kontroversi dan paradoks-paradoks.
Trinitas sebagai paradigma imajinatif sebenarnya dikembangkan untuk mencegah pendekatan yang terlalu rasionalistik terhadap Tuhan sebagaimana ditampilkan oleh Arius. Doktrin Inkarnasi sebagaimana tampil di Nicea, mengandung bahaya idolatri yang simplistik: Tuhan dipahami mempunyai sifat dan kegiatan tidak ubahnya sebagai manusia: berpikir, bertindak, membuat rencana sebagai manusia. Dari situ, manusia akan mengenakan pikiran-pikirannya sendiri (yang eksklusif) pada Tuhan sehingga menjadi absolut. Inilah akar dari sikap-sikap eksklusivistik dalam agama.
Ketika pada abad ke-18 M pemikiran rasional mulai membudaya di dunia, orang Kristen Barat mencoba merasionalkan Tuhan pula. Ini yang menyebabkan munculnya pernyataan “Tuhan telah mati” di Barat. Sedangkan orang Kristen Timur tetap melihat Trinitas bukan sebagai pernyataan faktual, melainkan sebagai pernyataan puitik atau sebagai tarian teologis antara apa yang dipercaya manusia dengan kesadaran bahwa kepercayaan kerigmatik seperti itu hanya bersifat sementara [sampai diperoleh pengalaman spiritual yang membenarkannya].
Masa-masa sesudahnya: periode rasionalistik
Perkembangan khas pada masa-masa selanjutnya di dunia Kristen, ketika filsafat rasionalistik mulai membudaya, dan aspek penyelamatan dari Trinitas mulai terdesak ke belakang, aliran-aliran anti-Trinitas pun muncul kembali. Banyak yang dengan sadar menganut pandangan Arius yang rasional: misalnya, kaum humanis Pencerahan pada abad ke-16 M, dan kaum anti-Trinitas pada masa Renaisans Italia.
Dalam gerakan yang disebut Protestan (Reformasi) radikal, terjadi pergeseran peran Yesus dari Penebus menjadi lebih bersifat profetik dan merupakan pemimpin dan teladan utama bagi orang beriman. Yesus adalah tokoh yang mengutuk kaum agama dan politikus yang mapan, mengecam kaum kaya; begitu pula seharusnya diteladani oleh orang beriman. Munculnya sekte Anabaptis yang dikejar-kejar oleh pimpinan Gereja Katolik dan Gereja Protestan lain; kisah Michael Servetus yang dihukum mati oleh “Inkuisisi” Protestan, merupakan contoh dari paradigma persekusi yang diterima dengan tabah oleh para tokoh gerakan Reformasi radikal ini. Mereka meneladani Yesus yang juga dikejar-kejar dan mati di kayu salib.
Gerakan radikal pada abad ke-16 M ini kelak mengambil bentuk sebagai aliran Unitarianisme. Aliran ini berpendapat bahwa doktrin Trinitas adalah penyimpangan dari Alkitab, dan bahwa monoteisme sederhana dapat dipertahankan apabila Kristus tidak dilihat sebagi pengejawantahan penuh dari Allah.
Ada suatu hubungan langsung antara paham anti-Trinitas dengan penelitian kehidupan Yesus pada abad ke-18 M. Pelopor penelitian ini ialah Hermann Reimarus dan Karl Bahrdt, yang menggambarkan Yesus sebagai agen suatu tarekat pencerahan yang tertutup (kaum Essene), yang bertujuan untuk menyebarluaskan agama akal budi di dunia. Kedua peneliti itu juga bersikap anti-Trinitas dan memelopori gerakan kritik rasionalistik yang radikal terhadap dogma-dogma gereja.
Ilmuwan terkemuka, Sir Isaac Newton (abad ke-17 M), mempunyai minat pada agama dan teologi. Pada awal th 1690-an, ia mengirimkan kepada sahabatnya, John Locke, satu kopi tulisannya yang mencoba membuktikan bahwa ayat-ayat yang menyiratkan Trinitas di dalam Perjanjian Baru adalah tambahan belakangan yang disisipkan oleh kubu Athanasius. Ketika John Locke berniat menerbitkan karya itu, Newton segera menariknya kembali, karena takut pandangannya yang anti-Trinitas diketahui umum.
Kritik Immanuel Kant (abad ke-18 M) terhadap “bukti-bukti” adanya Tuhan menyebabkan merosotnya doktrin Trinitas lebih jauh. Di dalam filsafat Idealisme Jerman, Hegel, dalam upaya mengangkat dogma Kristen ke dalam lingkup konseptual, mengambil doktrin Trinitas sebagai landasan bagi sistem filsafatnya serta tafsirannya terhadap sejarah sebagai proses pengejawantahan roh mutlak menjadi sadar-diri.
Pada masa yang lebih mutakhir, aliran teologi dialektis di Eropa dan Amerika Serikat cenderung mereduksikan doktrin Trinitas dan menggantikannya dengan monokristisme. Monokristisme adalah kecenderungan dalam praktek iman Kristen sehari-hari, ketika tokoh Putra mendesak tokoh Bapa ke belakang, ketika tokoh Pencipta dan Pemelihara alam semesta dikesampingkan oleh tokoh Penebus. Gejala ini terlihat pada kehidupan liturgis sehari-hari. Terdapat tarik-menarik antara teologi Kristen (Trinitas) dan kesalehan Kristen (dengan titik berat pada Yesus Kristus).
Suatu bentuk monokristisme yang radikal adalah Gerakan “Jesus Only”, yang muncul di dalam Gereja Pentakosta. Gerakan ini menyatakan bahwa baptisan yang benar adalah “Atas nama Yesus” semata, bukan atas nama Trinitas. Gerakan yang mulai pada th 1913 di Kalifornia ini menolak doktrin Trinitas tradisional, dan hanya mengakui pribadi Yesus satu-satunya sebagai Allah. Gerakan ini menyebabkan pecahnya aliran Pentakosta menjadi beberapa gereja.
Pada suatu peristiwa yang singkat tapi dipublikasikan secara luas pada pertengahan tahun 1960-an, sejumlah ahli teologi Protestan terkemuka yang terlibat dalam kritik budaya mengamati dan menyatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Teologi “matinya Tuhan” mengesampingkan segala paham tentang transendensi ilahi, dan meletakkan seluruh sifat Kekristenan pada manusia Yesus dari Nazareth. Dogma Kristen ditafsirkan ulang, dan direduksikan menjadi sekadar sosialitas dan kemerdekaan manusiawi. Tak lama kemudian, mayoritas ahli teologi menanggapi aliran kecil ini dengan menampilkan kembali dogma Kristen klasik, yang menekankan perjumpaan dengan transendensi ilahi dalam setiap wacana tentang Yesus Kristus.
Penemuan kembali transendensi ilahi
Pada zaman pasca-modernisme sekarang ini, transendensi ilahi telah ditemukan kembali”setidak-tidaknya diindikasikan”oleh sains dan sosiologi. Teologi pada dasawarsa penutup abad ke-20 M ini berupaya mengatasi tafsiran yang bersifat antropologis semata tentang agama, dan sekali lagi menemukan secara baru landasan transendensinya. Konsekuensinya, teologi dihadapkan pada masalah Trinitas dalam bentuk baru, yang menurut pengalaman Kristiani akan Allah sebagai kehadiran Bapa, Putra dan Roh Kudus tidak dapat dihilangkan. Pemahaman baru akan Trinitas ini ditandai dengan pergeseran dari pendekatan filosofis-metafisikal kepada pendekatan kontemplatif. Juga dipengaruhi oleh perjumpaan dengan paham-paham lain yang non-Kristiani tentang inkarnasi dan emanasi transenden, dalam rangka dialog antariman. [Disarikan dan dirangkum dari Encyclopaedia Britannica dan “A History of God” (Karen Armstrong).]
Uraian tentang sejarah pemahaman dan penyikapan terhadap konsep Trinitas di atas menggarisbawahi bahwa semua sudut pandang tersebut -baik yang pro maupun yang kontra, baik yang “resmi” maupun yang tidak- adalah upaya manusia untuk menyelami hal-ihwal keilahian. Upaya ini pada garis besarnya menggunakan dua pendekatan: di satu pihak, pendekatan filosofis-intelektual, dan di lain pihak, pendekatan kontemplatif-meditatif.
Rekan-rekan yang menganut salah satu paham Trinitas tertentu sebagai rumusan imannya, mungkin ada yang memahami rumusannya sebagai “terilhami oleh Roh Kudus”. Hal ini dapat dipahami sepenuhnya. Namun, karena saya pribadi berangkat dari sikap sekuler yang netral terhadap berbagai akidah yang ada, maka saya melihat berbagai paham Trinitas itu tidak ada yang lebih “benar” atau lebih “salah” yang satu terhadap yang lain.
Bersimpati dengan pendekatan Gereja Ortodoks Timur, saya berpendapat bahwa paham Trinitas adalah simbol-simbol yang mengacu kepada suatu realitas transenden yang berada di baliknya, yang pada dasarnya tidak terbayangkan dan tidak terkatakan oleh otak manusia. Realitas itu hanya dapat didekati dan dialami di dalam kontemplasi-meditatif, bukan dengan pemikiran diskursif-filosofis. Realitas itu tercermin pula di dalam banyak simbol-simbol lain yang non-Kristiani.
[Dari: DR. Hudoyo Hupudiyo, M.Ph | Sumber: Milis Sabili]
Baca juga:
- JALAN PINTAS DARI TRIMURTI KE TRINITAS
- MENYOAL KONSEP KETUHANAN TRINITAS
- SEJARAH YANG DILUPAKAN, TRINITAS DAN KETUHANAN BUNDA MARIA
- KETUHANAN BUNDA MARIA DALAM TRINITAS
- SEJARAH PENOLAKAN GEREJA TERHADAP AJARAN TRINITAS
Tidak ada komentar